Meskipun sebagian israiliyat dapat memberikan wawasan tambahan, banyak ulama menegaskan bahwa ada bahaya besar jika kisah-kisah ini dibiarkan masuk tanpa filter. Bahaya pertama adalah bercampurnya ajaran Islam dengan mitos atau cerita palsu, sehingga mengaburkan kebenaran wahyu.
Bahaya kedua adalah hilangnya kepercayaan umat terhadap tafsir dan sejarah Islam. Jika israiliyat yang batil terus diwariskan, generasi berikutnya bisa menganggapnya sebagai bagian dari ajaran Islam, padahal sumbernya berasal dari luar. Hal ini dapat membuka celah bagi kritik dari pihak yang ingin merendahkan Islam.
Bahaya ketiga adalah distorsi terhadap citra para nabi. Banyak israiliyat yang menggambarkan para nabi melakukan dosa besar atau perbuatan hina. Padahal, dalam Islam, para nabi adalah manusia pilihan yang terjaga dari dosa besar (ma’shum).
Untuk menghindari bahaya ini, para ulama menetapkan kaidah ketat dalam menerima israiliyat. Setiap cerita harus diperiksa sanadnya, dibandingkan dengan Al-Qur’an dan hadis, serta dinilai secara rasional. Tanpa langkah ini, studi Islam bisa tercemar oleh cerita-cerita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Di era digital, bahaya israiliyat semakin besar karena informasi dapat tersebar cepat tanpa verifikasi. Cerita-cerita lama yang tidak sahih bisa viral kembali di media sosial, bahkan mempengaruhi opini publik. Oleh karena itu, peran dai, penulis, dan akademisi sangat penting dalam menyaring informasi.
Dengan kesadaran dan kehati-hatian, umat Islam bisa tetap memanfaatkan pengetahuan sejarah dari Ahli Kitab tanpa terjebak dalam jebakan tahrif dan distorsi. Menyaring israiliyat bukan berarti menutup diri, tetapi menjaga kemurnian ajaran yang telah Allah sempurnakan dalam Al-Qur’an.
