Ruang Sujud

Israiliyat dalam Tafsir: Sejarah Masuknya dan Dampaknya pada Pemahaman Al-Qur’an

Istilah israiliyat merujuk pada kisah-kisah yang berasal dari tradisi Yahudi dan Kristen yang masuk ke dalam literatur Islam, terutama tafsir, hadis, dan sejarah. Cerita-cerita ini sering dibawa oleh para mualaf dari kalangan Ahli Kitab yang masuk Islam pada masa awal. Sebagian kisah digunakan untuk melengkapi penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an, khususnya yang bersifat umum atau tidak menjelaskan detail tertentu.

Sejarah masuknya israiliyat ke dalam tafsir dapat dilacak sejak masa para tabi’in. Beberapa tokoh seperti Ka‘b al-Ahbar dan Wahb bin Munabbih dikenal sebagai perawi israiliyat. Mereka menyampaikan kisah-kisah yang didapat dari kitab-kitab sebelumnya untuk menjelaskan kisah para nabi atau peristiwa sejarah. Walaupun niatnya membantu pemahaman, tidak semua cerita tersebut memiliki dasar yang kuat.

Pengaruh israiliyat dalam tafsir cukup signifikan, terutama pada penafsiran ayat-ayat yang membahas sejarah nabi dan umat terdahulu. Misalnya, penjelasan detail tentang ukuran bahtera Nabi Nuh atau nama-nama tokoh dalam kisah Nabi Musa seringkali bersumber dari israiliyat. Hal ini memberi warna dalam literatur tafsir, tetapi juga menimbulkan risiko bercampurnya kebenaran wahyu dengan kisah yang tidak terverifikasi.

Ulama berbeda pendapat tentang penggunaan israiliyat dalam tafsir. Sebagian membolehkannya selama tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis sahih. Sebagian lain memilih untuk menghindarinya agar tidak membuka peluang masuknya kebohongan ke dalam ajaran Islam. Sikap hati-hati ini didasari oleh peringatan Nabi Muhammad ﷺ agar tidak membenarkan atau mendustakan kabar dari Ahli Kitab secara mutlak.

Dampak positif israiliyat adalah memberi gambaran yang lebih luas terhadap konteks sejarah dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, dampak negatifnya bisa berbahaya jika cerita yang tidak sahih dianggap sebagai kebenaran agama. Oleh karena itu, kajian kritis sangat diperlukan untuk memisahkan fakta dari fiksi.

Di era modern, para ulama dan peneliti mendorong umat Islam untuk kembali merujuk pada sumber-sumber yang sahih dan mengedepankan metode verifikasi ilmiah. Dengan begitu, tafsir tetap terjaga kemurniannya tanpa tercampur dengan kisah-kisah yang meragukan.

Exit mobile version