RuangSujud.com – Dalam setiap masa, hati seorang mukmin senantiasa merindukan kedekatan dengan Sang Pencipta, sekaligus mencermati tanda-tanda zaman yang terhampar di hadapan. Rasulullah SAW, dengan hikmah kenabiannya, telah mewariskan kepada kita pelita-pelita penerang agar umatnya tidak tersesat dalam kegelapan fitnah akhir zaman. Salah satu di antaranya adalah sebuah sabda beliau yang mendalam, mengingatkan kita tentang beberapa indikator menjelang datangnya Hari Kiamat, sebuah seruan untuk merenung dan menguatkan kembali pijakan iman kita.
Salah satu tanda yang disebutkan adalah bergesernya nilai-nilai moral dalam masyarakat. Kita disaksikan dengan fenomena di mana orang-orang yang berakhlak buruk justru dihormati dan dimuliakan, sementara mereka yang shalih dan berpegang teguh pada kebaikan justru terpinggirkan dan diremehkan. Fenomena ini sejatinya adalah sebuah ujian, menguji seberapa kuat kita tetap memuliakan kebaikan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, meskipun arus dunia mengalir deras ke arah sebaliknya.
Lebih lanjut, Rasulullah SAW juga mengingatkan tentang ‘dibukanya perkataan dan dikuncinya amal’. Ini adalah gambaran sebuah era di mana lisan-lisan begitu mudah berucap janji, bersilat lidah dengan retorika indah, namun tangan-tangan enggan bergerak mewujudkan amal nyata. Kesenjangan antara kata dan perbuatan semakin melebar, menggugah kita untuk senantiasa introspeksi, apakah setiap untaian kalimat yang terucap telah diiringi dengan kesungguhan hati dan dibuktikan oleh tindakan yang nyata, sebagaimana tuntunan Islam.
Kemudian, sebuah tanda yang begitu krusial adalah kemunculan ‘Al-Matsnah’ yang dibacakan di tengah kaum, dan tiada seorang pun yang berani mengingkari kesalahannya. Ungkapan ini mengundang kita untuk bertanya, apakah sebenarnya Al-Matsnah itu? Sebuah pertanyaan yang dijawab langsung oleh Nabi SAW, memberikan kita pemahaman yang mendalam dan peringatan yang amat penting.
Beliau menjelaskan bahwa Al-Matsnah adalah ‘segala sesuatu yang dijadikan panduan selain Kitabullah ‘Azza wa Jalla.’ Definisi ini adalah pencerahan sekaligus peringatan keras. Ini berarti bahwa ketika manusia mulai menjadikan ideologi buatan, tradisi tanpa dasar syar’i, hawa nafsu, atau pandangan subyektif sebagai rujukan utama di atas Al-Quran dan Sunnah, dan mereka begitu pasrah, tanpa ada keberanian untuk mengoreksi atau kembali pada kebenaran hakiki, maka itulah salah satu puncak penyimpangan. Ini adalah kondisi di mana kebenaran relatif mengalahkan kebenaran mutlak dari Firman Allah.
Maka, renungan atas sabda Nabi ini seyogianya membangkitkan kesadaran kita sebagai umat Muslim. Mari kita kembali meneguhkan komitmen untuk menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup yang utama dan Sunnah Nabi sebagai penjelasnya. Mari kita berani menyuarakan kebenaran dengan hikmah, beramal shalih dengan ikhlas, dan senantiasa memohon petunjuk agar tidak terjerumus dalam arus penyimpangan zaman. Semoga Allah SWT senantiasa membimbing kita semua untuk selalu berada di jalan yang lurus hingga akhir hayat.