Sikap ulama terhadap israiliyat bervariasi. Ada yang cenderung menerima dengan syarat tertentu, ada pula yang tegas menolak sebagian besar cerita tersebut. Perbedaan ini didasari oleh metode ijtihad dan prinsip kehati-hatian dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.
Ulama yang lebih longgar dalam menerima israiliyat umumnya melihatnya sebagai tambahan informasi untuk memperjelas kisah dalam Al-Qur’an dan hadis. Imam Ibn Jarir al-Tabari dalam tafsirnya banyak mencantumkan israiliyat, namun tetap memberikan catatan kritis terhadap sanad dan isi cerita.
Di sisi lain, ulama seperti Imam Ibn Katsir dan Imam al-Syaukani lebih ketat dalam menyikapi israiliyat. Mereka menolak kisah yang tidak memiliki dasar yang sahih, apalagi yang merendahkan martabat nabi. Menurut mereka, memasukkan cerita yang tidak jelas asal-usulnya berisiko menyesatkan umat.
Salah satu pedoman yang disepakati adalah hadis Nabi ï·º yang menyatakan: “Janganlah kalian membenarkan Ahli Kitab, dan jangan pula mendustakan mereka, tetapi katakanlah: Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami.” Hadis ini menunjukkan sikap tengah-tengah yang hati-hati.
Pandangan ulama modern seperti Dr. Muhammad Abu Syahbah dan Dr. Subhi al-Salih menekankan perlunya verifikasi ilmiah terhadap israiliyat. Mereka mendorong penggunaan metode kritik teks dan sejarah agar tidak sembarangan memasukkan kisah ke dalam tafsir atau sejarah Islam.
Perbedaan pandangan ini memberi pelajaran bahwa israiliyat tidak bisa disikapi secara hitam-putih. Diperlukan keseimbangan antara keterbukaan pada informasi sejarah dan kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya distorsi.
